Kamis, 05 Maret 2015

SEJARAH KABUPATEN TULUNGAGUNG

SEJARAH KABUPATEN TULUNGAGUNG

Pada tahun 1205 M, masyarakat Thani Lawadan di selatan Tulungagung, mendapatkan penghargaan dari Raja Daha terakhir, Kertajaya, atas kesetiaan mereka kepada Raja Kertajaya ketika terjadi serangan musuh dari timur Daha. Penghargaan tersebut tercatat dalam Prasasti Lawadan dengan candra sengkala "Sukra Suklapaksa Mangga Siramasa" yang menunjuk tanggal 18 November 1205 M. Tanggal keluarnya prasasti tersebut akhirnya dijadikan sebagai hari jadi Kabupaten Tulungagung sejak tahun 2003.
Bupati Tulungagung dan para pengikutnya (1880-1920)
Di Desa Boyolangu, Kecamatan Boyolangu, terdapat Candi Gayatri. Candi ini adalah tempat untuk mencandikan Gayatri (Sri Rajapatni), istri keempat Raja Majapahit yang pertama, Raden Wijaya (Kertarajasa Jayawardhana), dan merupakan ibu dari Ratu Majapahit ketiga, Sri Gitarja (Tribhuwanatunggadewi), sekaligus nenek dari Hayam Wuruk (Rajasanegara), raja yang memerintah Kerajaan Majapahit di masa keemasannya. Nama Boyolangu itu sendiri tercantum dalam Kitab Nagarakertagama yang menyebutkan nama Bayalangu/Bhayalango (bhaya = bahaya, alang = penghalang) sebagai tempat untuk menyucikan beliau. Berikut ini adalah kutipan Kitab Negarakertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca dan telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia:
Prajnyaparamitapuri itulah nama candi makam yang dibangun
Arca Sri Padukapatni diberkati oleh Sang Pendeta Jnyanawidi
Telah lanjut usia, paham akan tantra, menghimpun ilmu agama
Laksana titisan Empu Barada, menggembirakan hati Baginda
(Pupuh LXIX, Bait 1)
Di Bayalangu akan dibangun pula candi makam Sri Rajapatni
Pendeta Jnyanawidi lagi yang ditugaskan memberkati tanahnya
Rencananya telah disetujui oleh sang menteri demung Boja
Wisesapura namanya, jika candi sudah sempurna dibangun
(Pupuh LXIX, Bait 2)
Makam rani: Kamal Padak, Segala, Simping
Sri Ranggapura serta candi Budi Kuncir
Bangunan baru Prajnyaparamitapuri
Di Bayalangu yang baru saja dibangun
(Pupuh LXXIV, Bait 1)
Tulungagung terkenal sebagai salah satu daerah penghasil marmer terbesar di Indonesia. Terletak 154 Km barat daya Kota Surabaya, ibu kota Provinsi Jawa Timur. Kabupaten yang pernah meraih penghargaan Adipura Kencana ini ternyata sarat akan sejarah seiring usianya yang terbilang sudah ‘sepuh’.
Wilayah Tulungagung ternyata sudah dihuni sejak zaman prasejarah dulu. Yang dianggap sebagai penghuni awal adalah Homo Wajakensis, manusia prasejarah yang fosilnya ditemukan oleh Eugene Dubois di daerah Tulungagung Selatan. Lokasi penemuannya konon terletak di dusun Nglepung, Desa Wajak Kecamatan Campurdarat.
Nama Tulungagung sebenarnya berasal dari dua kata, toeloeng dan agoeng. Arti dari dua kata itu adalah toeloeng berarti mata air dan agoeng berarti besar. Sebelumnya nama kota ini adalah Kabupaten Nggrawa. Penyebutan kata Nggrawa sendiri konon dari banyaknya daerah berawa yang ada atau dalam bahasa Jawanya “Ngrowo”. Tulungagung awalnya hanya merupakan bagian dari distrik dari Kabupaten Nggrawa. Waktu itu ibu kotanya masih berada di daerah Kalangbret.
Sejak beberapa tahun lalu ada koreksi mengenai penentuan hari jadi Kabupaten Tulungagung. Merunut dari prasasti yang ditemukan di daerah Thani Lawadan yang kini diyakini bernama Wates, Campurdarat usia kota ini sudah termasuk sangat tua. Dari prasasti Lawadan menunjukkan kota ini berdiri sejak tahun 12 November tahun 1205.
Prasasti yang bertanggal 18 November 1205-hari Jumat Pahing-dikeluarkan oleh Prabu Srengga raja terakhir kerajaan Daha. Raja yang terkenal dengan nama Prabu Dandanggendis. Isinya kurang lebih berisi pemberian keringanan pajak dan hak istimewa semacam bumi perdikan atau "sima".
Alasannya pemberian ''hadiah'' tersebut adalah karena jasa prajurit Lawadan atas dedikasi dan bantuan mereka kepada kerajaan dalam mengusir musuh dari Timur. Berkat bantuan para prajurit Lawadan sang raja yang tadinya harus meninggalkan keraton dapat kembali berkuasa.
Pada zaman Mataram Islam yaitu zaman Sri Pakubuwono I dan VOC tahun 1709 mengadakan perjanjian nama Kalangbret tetap digunakan sebagai ibukota Kabupaten Nggrawa. Begitu juga pada perjanjian Giyanti (1755) nama Kalangbret disebut salah satunya wilayah manca negaranya kerajaan Yogyakarta.
Kalangbret sebagai Kadipaten Mancanegara Mataram terbentuk sejak perjanjian Giyanti. Wilayah tersebut selanjutnya dijadikan ibu kota Kabupaten Ngrawa tahun 1750 sampai 1824 Masehi. Yaitu mulai masa Mataram Islam hingga zaman kolonial. Bupati pertama Kabupaten Nggrawa adalah Kyai Ngabehi Mangundirono.
Nama ''Kalang bret '' telah dikenal sejak tahun 1255 M (prasasti Mula-Malurung) dan disebut ulang dalam Negara Kertagama (1635 M) dengan nama Kalangbret. Atas dasar tersebut legenda yang ada tentang asal Kalabret dari Adipati Kalang yang tewas dalam kondisi tersembret-sembret oleh Pangeran Lembu peteng dimentahkan.
Sebelum bernama Kabupaten Ngrawa di wilayah Tulungagung sudah berdiri Katumenggungan Wajak tepatnya pada masa pemerintahan Sultan Agung. Katumenggungan ini bertahan hingga pembentukan Kadipaten Ngrawa dengan pusat pemerintahan di Wajak sejak perjanjian Giyanti. Ini terjadi antara tahun 1615 hingga 1709 M pada masa Mataram Islam dan masa kolonial.
Saat masih berbentuk Katumenggungan yang menjadi tumenggung adalah Senapati Mataram bernama Surontani. Tokoh yang sangat melegenda tersebut dimakamkan di Desa Wajak Kidul Boyolangu.
Katumenggungan Wajak berakhir dengan berdirinya Kabupaten Ngrawa beribu kota di Kalangbret. Nama "Rawa'' telah dikenal sejak tahun 1194 M (Prasasti Kemulan) dan disebut ulang dalam Negarakertagama (1365 M). Nama ini kemudian berubah menjadi ''Nggrawa''.
Saat tampuk kepemimpinan berada di tangan KRT Pringgodiningrat Bupati Ngrawa ke IV, yang memerintah tahun 1824 hingga 1930, ibu kota Kabupaten Nggrawa dipindahkan kesebelah Timur sungai Nggrawa yaitu pada lokasi sekarang ini. Selanjutnya kota baru ini dijadikan pusat pemerintahan atau ibu kota Kabupaten Ngrgawa.
Terjadi pada masa kolonial sampai sekarang. Pada tahun 1800-an sampai 1901 nama ''Toeloeng Agoeng'' dipakai sebagai nama salah satu distrik dalam wilayah Kabupaten Nggrawa. Nama Kabupaten Nggrawa berubah menjadi Kabupaten Tulungagung pada 1 April 1901 yaitu pada masa pemerintahan bupati Nggrawa ke11, RT Partowijoyo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar