seni tato dari suku dayak yang mempesona
Selain
daun telinga yang panjang, tradisi suku Dayak lainnya adalah tato.
Wanita Dayak yang berumur diatas 40 tahun rata-rata memiliki tato di
sekujur lengan dan kakinya. Bagi kaum perempuan, keberadaan tato di
tubuh mereka menunjukkan mereka adalah anggota keluarga bangsawan.
Orang-orang Dayak Kenyah, Bahau, Iban, dan Kayan memiliki tato,
sedangkan kelompok-kelompok Dayak lainnya tidak mengikuti praktik ini.
Motif-motif
untuk kaum perempuan Kenyah meliputi rantai-rantai anjing,
motif-motif perang, tanduk-tanduk binatang di bagian lengan dan paha,
dam motif-motif lingkaran di betis atau pergelangan kaki. Tato-tato
pada suku Dayak Kenyah adalah tanda kedewasaan, sementara bagi kaum
laki-laki tato merupakan tanda bahwa mereka sudah menjelajahi negeri
orang dan telah melakukan sesuatu yang luar biasa, seperti membunuh
musuh dalam peperangan.
Senada
dengan penjelasan di atas, M. Sjaifullah dan Try Harijono dalam
artikelnya di Kompas, 22 Oktober 2004 yang berjudul “Makna Tato bagi
Masyarakat Dayak” mengatakan bahwa tato bagi sebagian masyarakat etnis
Dayak merupakan bagian dari tradisi, religi, status sosial seseorang
dalam masyarakat, serta bisa pula sebagai bentuk penghargaan suku
terhadap kemampuan seseorang. Karena itulah, tato bagi masyarakat
Dayak tidak dapat dibuat sembarangan. Meski demikian, secara religi
tato memiliki makna sama dalam masyarakat Dayak, yakni sebagai “obor”
dalam perjalanan seseorang menuju alam keabadian, setelah kematian.
Karena itu, jumlah tato yang semakin banyak menunjukkan semakin
banyaknya “obor” yang akan menerangi perjalanan seseorang ke alam
keabadian namun yang perlu diperhatikan di sini adalah pembuatan tato
juga tidak bisa dibuat sebanyak-banyaknya secara sembarangan, karena
harus memenuhi aturan adat.
Baik
tato pada lelaki maupun perempuan, secara tradisional dibuat
menggunakan duri buah jeruk yang panjang dan lambat-laun kemudian
menggunakan beberapa buah jarum sekaligus15. Yang tidak berubah adalah
bahan pembuatan tato yang biasanya menggunakan jelaga dari periuk
yang berwarna hitam. Inilah yang membuat tato Dayak berbeda dengan
tato-tato lainnya yang kerap menggunakan berbagai warna untuk alasan
keindahan.
Namun
sayangnya nilai tato Dayak yang tadinya begitu luhur, yaitu
menggambarkan “obor” yang akan menerangi jalan si empunya menuju alam
keabadian, kini telah bergeser nilainya. Kini, tato Dayak tak lebih
hanya dianggap sebagai lambang untuhgagah- gagahan, terutama bagi
kalangan generasi mudanya. Anggapan tato sebagai simbol kegagahan ini
serupa dengan anggapan masyarakat luar Dayak, tato biasa diidentikkan
dengan preman-preman yang dapat dikatakan gagah. Anggapan inilah yang
kemudian merasuk ke dalam pemuda-pemudi Dayak, melalui suatu proses
globalisasi. Globalisasi telah membuat nilai Tato Dayak bergeser
menjadi tato untuk gagah -gagahan dan kekerasan semata.
Hanya
beberapa orang tua di desa itu saja yang masih menaruh perhatian,
seraya berpendapat bahwa modernisasi telah melemahkan aspek kebudayaan
tradisional yang satu ini16. Menanggapi hal ini, Laurensius Ding Lie,
yang menyebut dirinya pembuat Art Tatoo Dayak di Kampung Long Bagun
Ilir, menyatakan keprihatinannya. Ia prihatin dengan citra tato yang
identik dengan kekerasan. Apalagi belakangan ini semakin banyak warga
non-Dayak yang meminta untuk ditato Dayak, tanpa mengetahui esensi
sebenarnya dari tato Dayak tersebut. Inilah yang sangat disayangkan,
ketika nilai budaya dari suatu kebudayaan hilang dan tergantikan oleh
nilai lain yang dapat dikatakan melenceng dari nilai aslinya karena
proses modernisasi dan globalisasi.
eni tato dari suku dayak yang mempesona
Selain
daun telinga yang panjang, tradisi suku Dayak lainnya adalah tato.
Wanita Dayak yang berumur diatas 40 tahun rata-rata memiliki tato di
sekujur lengan dan kakinya. Bagi kaum perempuan, keberadaan tato di
tubuh mereka menunjukkan mereka adalah anggota keluarga bangsawan.
Orang-orang Dayak Kenyah, Bahau, Iban, dan Kayan memiliki tato,
sedangkan kelompok-kelompok Dayak lainnya tidak mengikuti praktik ini.
Motif-motif
untuk kaum perempuan Kenyah meliputi rantai-rantai anjing,
motif-motif perang, tanduk-tanduk binatang di bagian lengan dan paha,
dam motif-motif lingkaran di betis atau pergelangan kaki. Tato-tato
pada suku Dayak Kenyah adalah tanda kedewasaan, sementara bagi kaum
laki-laki tato merupakan tanda bahwa mereka sudah menjelajahi negeri
orang dan telah melakukan sesuatu yang luar biasa, seperti membunuh
musuh dalam peperangan.
Senada
dengan penjelasan di atas, M. Sjaifullah dan Try Harijono dalam
artikelnya di Kompas, 22 Oktober 2004 yang berjudul “Makna Tato bagi
Masyarakat Dayak” mengatakan bahwa tato bagi sebagian masyarakat etnis
Dayak merupakan bagian dari tradisi, religi, status sosial seseorang
dalam masyarakat, serta bisa pula sebagai bentuk penghargaan suku
terhadap kemampuan seseorang. Karena itulah, tato bagi masyarakat
Dayak tidak dapat dibuat sembarangan. Meski demikian, secara religi
tato memiliki makna sama dalam masyarakat Dayak, yakni sebagai “obor”
dalam perjalanan seseorang menuju alam keabadian, setelah kematian.
Karena itu, jumlah tato yang semakin banyak menunjukkan semakin
banyaknya “obor” yang akan menerangi perjalanan seseorang ke alam
keabadian namun yang perlu diperhatikan di sini adalah pembuatan tato
juga tidak bisa dibuat sebanyak-banyaknya secara sembarangan, karena
harus memenuhi aturan adat.
Baik
tato pada lelaki maupun perempuan, secara tradisional dibuat
menggunakan duri buah jeruk yang panjang dan lambat-laun kemudian
menggunakan beberapa buah jarum sekaligus15. Yang tidak berubah adalah
bahan pembuatan tato yang biasanya menggunakan jelaga dari periuk
yang berwarna hitam. Inilah yang membuat tato Dayak berbeda dengan
tato-tato lainnya yang kerap menggunakan berbagai warna untuk alasan
keindahan.
Namun
sayangnya nilai tato Dayak yang tadinya begitu luhur, yaitu
menggambarkan “obor” yang akan menerangi jalan si empunya menuju alam
keabadian, kini telah bergeser nilainya. Kini, tato Dayak tak lebih
hanya dianggap sebagai lambang untuhgagah- gagahan, terutama bagi
kalangan generasi mudanya. Anggapan tato sebagai simbol kegagahan ini
serupa dengan anggapan masyarakat luar Dayak, tato biasa diidentikkan
dengan preman-preman yang dapat dikatakan gagah. Anggapan inilah yang
kemudian merasuk ke dalam pemuda-pemudi Dayak, melalui suatu proses
globalisasi. Globalisasi telah membuat nilai Tato Dayak bergeser
menjadi tato untuk gagah -gagahan dan kekerasan semata.
Hanya
beberapa orang tua di desa itu saja yang masih menaruh perhatian,
seraya berpendapat bahwa modernisasi telah melemahkan aspek kebudayaan
tradisional yang satu ini16. Menanggapi hal ini, Laurensius Ding Lie,
yang menyebut dirinya pembuat Art Tatoo Dayak di Kampung Long Bagun
Ilir, menyatakan keprihatinannya. Ia prihatin dengan citra tato yang
identik dengan kekerasan. Apalagi belakangan ini semakin banyak warga
non-Dayak yang meminta untuk ditato Dayak, tanpa mengetahui esensi
sebenarnya dari tato Dayak tersebut. Inilah yang sangat disayangkan,
ketika nilai budaya dari suatu kebudayaan hilang dan tergantikan oleh
nilai lain yang dapat dikatakan melenceng dari nilai aslinya karena
proses modernisasi dan globalisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar